Selasa, 10 Juli 2012


Demi cinta yang sebelumnya bahkan tak pernah kukenal...
Dua belas tahun usiaku saat aku menikah. Aku masih ingat betul saat itu.
“Ingat ya, nanti kalo pak penghulu tanya, bilang aja sudah.”
Pesan itu berkali-kali disampaikan oleh ibu. Aneh sekali, pikirku. Bahkan ibuku sendiri tidak tahu bahwa aku memang benar-benar telah mendapat haidh pertamaku setahun yang lalu.
Malam harinya menjelang pernikahan, aku mengurung diri di kamar. Aku tak bisa memejamkan mata sedetikpun. Hanya menangis sepanjang malam. Belum sekalipun aku melihat wajah calon suamiku. Bermacam-macam yang ada dalam pikiranku saat itu.
Jangan-jangan nanti suamiku seperti Wak Jamin. Duda tua dengan kulit hitam legam dan rambut gondrong yang tak pernah tersentuh sampo. Ah....aku segera menyingkirkan pikiran buruk itu.
Atau jangan-jangan nanti suamiku suka main tangan. Kasar. Air mataku semakin deras. Ingin rasanya aku menangis keras-keras. Tapi aku takut sama bapak. Beliau pasti marah besar kalau tau bahwa aku tidak rela dengan pernikahan ini.
Malam itu, sungguh menjadi malam yang panjang. Ingin rasanya berhenti berpikiran buruk, tapi aku tak sanggup. Air mataku terus-menerus memaksa untuk keluar. Bahkan semakin larut, semakin deras.
Sekitar jam tiga dini hari aku pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Aku takut bapak akan marah jika esok pagi mendapatiku dengan mata yang sembab.
***
Meskipun aku menikah di usia yang terlalu muda, aku masih sempat mempunyai kisah cinta monyet. Seorang pemuda kampung, diam-diam menaruh hati padaku. Halim namanya. Seringkali aku mendapati arisanku telah terbayar olehnya. Bukan arisan besar. Hanya Rp 100,- setiap seminggu sekali. Arisan untuk remaja-remaja agar tidak absen datang diba’an ke masjid setiap malam Jum’at. Sering juga ia meninggalkan uang pada pemilik warung dekat masjid, sehingga saat aku beli rujak, aku tak perlu lagi membayarnya.
Tapi sayang, orang tua pemuda itu tidak setuju jika aku menjadi anak mantu di keluarga mereka. Terang saja, keluargaku adalah keluarga paling miskin di kampung. Sedangkan ia dari keluarga yang terpandang.
***
Esok harinya, di hari pernikahan, ibu memerlukan beberapa kauskaki untuk membuat payudaraku terlihat sedikit lebih besar. Karena memang aku masih sangat remaja, bahkan payudaraku belum benar-benar tumbuh.
Hari itu, untuk pertama kalinya aku melihatnya. Aku tersipu malu. Ternyata, ia jauh dari apa yang kubayangkan. Aku menyesal telah menangis di malam harinya. Ia pemuda yang gagah. Usianya tujuh tahun lebih tua dariku. Tinggi dengan kulit sawo matang. Ia tersenyum dan aku hanya tersipu, berusaha menyembunyikan mata sembabku.
Saat itu, aku tidak benar-benar tau apa yang akan kulakukan setelah menikah. Yang kutau, aku hanya harus mengikuti apa yang diinginkan bapak. Meskipun sebenarnya aku masih sangat ingin melanjutkan sekolah, tapi ketika bapak sudah bilang tidak, maka kemungkinan untuk sekolah benar-benar telah tertutup rapat.
Dua hari setelah pernikahan, ia menyuruhku untuk meminta rumah dari bapak. Tentu saja aku terkejut. Tidak mungkin secepat ini. Aku tau bahwa suatu hari bapak pasti akan membuatkan rumah untuk kami. Tapi ini baru dua hari.
Namun aku tidak cukup berani untuk membuat alasan kepadanya. Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah tak ingin menjadi janda di usia 12 tahun.
Aku memberanikan diri untuk menyampaikan keinginan suamiku itu kepada bapak. Bapak marah besar. Aku merengek-rengek di depan bapak, lebih seperti anak usia 12 tahun yang meminta baju baru. Aku memohon dengan sangat agar bapak segera membuatkan rumah untuk kami. Mungkin karena ketakutan yang sama, bapak akhirnya menyetujui permintaanku. Kurang dari sebulan, rumah kecil kami sudah bisa ditinggali. Aku dan suamiku pindah ke rumah baru kami. Sudah kubayangkan tentang kebahagiaan yang akan kami bina bersama di rumah baru itu. 


Namun tidak. Suamiku ternyata masih punya permintaan lain. Ia menyuruhku untuk minta sawah dari bapak. Bukan perkara yang sulit, bapak memang punya banyak sawah.
Rupanya ia tau bahwa aku takut jika kemudian ia akan meninggalkanku. Ketakutan itu dimanfaatkan olehnya untuk meminta ini dan itu. Beruntung keluargaku bukan keluarga yang kaya. Sehingga tidak banyak yang bisa ia minta dariku. Aku menjalani hari-hari dalam ketakutan dan kekhawatiran.
***
Suatu malam, turun hujan yang sangat lebat. Angin ribut yang mengerikan. Aku ketakutan setengah mati.
Suamiku mengajakku untuk keluar dari rumah, tapi aku tak bergeming. Aku takut. Aku tak berani melihat keluar.
Dan betapa sakitnya hatiku ketika ia meninggalkanku. Ia berteriak agar aku bersembunyi di kolong meja saja jika aku ketakutan. Aku berlari ke bawah meja dengan kaki gemetar.
Beberapa saat kemudian, rumah kami ambruk. Aku mengalami beberapa luka kecil.
Dan pria itu, masih sehat tak kurang suatu apa.
Kami kemudian kembali menumpang di rumah orang tuaku. Tak mungkin rasanya aku memaksa bapak untuk membangun kembali rumah yang telah ambruk itu.
Namun sepertinya suamiku masih tetap enggan tinggal bersama keluargaku. Siang malam ia untuk mengumpulkan uang dan kemudian membangun kembali rumah kami. Bahkan tak sedikitpun uang yang diberikannya untuk keperluan makan sehari-hari. Sampai akhirnya kami tinggal di rumah kami sendiri. Rumah tembok besar yang sepertinya tak kan pernah selesai dibangun. Suamiku mengerjakannya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Di tengah kekacauan itu, aku melahirkan anak pertamaku. Bayi laki-laki yang tak berdosa itu meninggal di pangkuanku saat usianya genap satu minggu. Menjadi korban kebodohan pasangan yang terlalu muda.
Aku masih tiga belas tahun saat itu, aku belum tau betul bagaimana caranya mengurus bayi. Anak pertama kami sakit-sakitan. Badannya panas sejak hari pertama ia dilahirkan.
Anak keduaku perempuan, Lisa namanya. Kepadanya aku sering melampiaskan kemarahanku. Setiap hari aku mencekokinya dengan cerita tentang karakter buruk bapaknya. Aku senang berbicara dengan Lisa sebab dia selalu berada dipihakku. Lisa tumbuh menjadi gadis yang kasar. Dan sepertiku, dia terlihat tidak terlalu suka dengan bapaknya.
***
Aku merasa aku benar-benar membenci lelaki itu. Tidak ada sedikitpun kebaikan yang tersisa darinya di mataku. Jika bukan mengingat kewajibanku sebagai istri, tak sudi lagi aku melihat wajahnya.
Hingga lima belas tahun usia pernikahan kami, aku masih merasa berada dalam penderitaan yang sangat. Aku merasa terkurung. Aku tak berani meminta tambahan uang belanja. Hatiku seringkali sakit ketika ia terus menerus menggunakan uangnya untuk membangun rumah. 


Seringkali aku bertanya-tanya, apa yang membuatku bertahan sampai selama itu. Aku bahkan tak pernah punya panggilan untuknya. Jika aku butuh sesuatu, aku hanya memanggilnya, “Hei”.
Seiring bertambahnya usia pernikahan, semakin jarang kami berkomunikasi. Dan semakin bertambah usiaku, aku semakin berani melawan. Bukan sekali dua kali aku meinta cerai karena hal-hal sepele. Ia bahkan tidak sedikitpun menggubris permintaan ceraiku.
Semakin hari aku semakin sering mengomel, dan kemarahanku selalu menjadi-jadi sebab aku merasa tak dihiraukan sama sekali. Aku dibiarkan begitu saja berkicau sepanjang hari. Tak ada sedikitpun kebahagiaan yang tersisa dari pernikahanku. Bahkan seingatku, sejak aku mengenalnya, aku hanya satu kali merasa bahagia, yaitu saat pertama kali melihatnya di depan penghulu. Kebahagiaan yang merupakan awal dari segala mimpi burukku.


Seandainya saja aku menikah dengan Halim, mungkin kehidupanku akan lebih baik. Dia bahkan telah berkesempatan untuk berhaji bersama istrinya. Ah.... andai saja aku yang menjadi istri Halim. Aku pasti jauh lebih bahagia dari saat ini.
                                                       ***
Aku sudah tidak tahan lagi dengan uang belanja yang tak kunjung bertambah. Kemudian suatu hari aku menyampaikan keinginanku untuk bekerja sendiri. Aku minta dibuatkan kedai kopi di depan rumah.
Seperti biasa ia tak terlalu banyak bicara. Dua minggu kemudian, kedai kopi yang kuminta sudah berdiri, lengkap dengan isinya.
Aku tak pernah merasa perlu untuk mengucapkan terima kasih. Kupikir, justru dialah yang seharusnya berterimakasih kepadaku karena sejak saat itu, aku tak pernah lagi meminta uang belanja darinya. Bahkan, sekarang artinya dia makan dari hasil keringatku.
Karena pekerjaan baru itu, aku semakin mengurangi komunikasi dengannya. Rumah kami tidak lagi diwarnai dengan pertengkaran. Aku tidak lagi mengomel. Aku terlalu sibuk dengan kedai kopi itu, hingga suatu hari aku menyadari bahwa di samping rumah telah ada sebuah alat pembajak sawah.
Tentu saja suamiku dengan mudah dapat membelinya. Berkat pekerjaanku yang sekarang, dia bahkan tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang untuk jajan anak-anak kami.
***
Enam tahun sejak kelahiran anak ketigaku, aku terkejut mendapati diriku hamil empat bulan.
Aku menyampaikan ini kepadanya. Dan dia marah besar. Entah kenapa, bukankah dia sendiri yang melakukan ini padaku? Kenapa sekarang dia harus marah ketika mendapatiku sedang hamil?
Kehamilan ini rupanya menjadi alasan baginya untuk tidak lagi menegurku. Hampir setiap malam dia pulang terlambat tanpa aku tau kemana ia pergi.
Hingga suatu pagi, aku mulai merasakan tanda-tanda kelahiran anak keempat kami. Aku sudah menyampaikannya kepada suamiku. Aku memintanya untuk tidak pergi ke sawah dulu dan menjagaku di rumah. Tapi dia sama sekali tidak mendengarkanku.
Syukurlah Tuhan mendengar jerit tangis ibu yang kesakitan ini. Tepat jam 9 pagi, suamiku digigit kalajengking di sawah. Dia buru-buru pulang dan mendapatiku mengerang kesakitan di atas tempat tidur. Kemudian dia bergegas memanggilkan dukun beranak. Bayi yang tidak diharapkan itu lahir dengan selamat pada jam 9.30 dengan wajah yang sama persis dengan bapaknya.
Sebenarnya aku tidak pernah berharap salah seorang anakku mewarisi wajah bapaknya, tapi kali ini aku benar-banar bersyukur, sebab belakangan memang beredar gosip bahwa anak yang kukandung adalah hasil dari perbuatan tercelaku bersama orang lain.
Aku berkali bersumpah di depan suamiku. Entah untuk apa aku bersumpah, sedangkan bukan dia yang melontarkan tuduhan keji itu terhadapku. Bahkan dia tidak pernah menanyakan tentang kejelasan bayi yang kukandung.
Pria yang telah sekian lama kubenci itu terlihat bercanda dengan bayi mungil kami. Setiap hari, bayi kami itu tak mau tidur kecuali dalam gendongan bapaknya. Untuk pertama kalinya, dia memberikan nama bagi anak kami. Setelah sebelumnya, dia selalu mempercayakannya padaku atau pada Wak Modin. Bayi itu, Ilham namanya. Aku bahagia melihat kenyataan bahwa suamiku benar-benar menyayangi bayi terakhir kami itu. Ya, bayi itu benar-benar menjadi bayi terakhir kami. Bayi yang menggoreskan senyum bagi keluarga kami untuk satu tahun terakhir.
Sejak kelahiran Ilham, komunikasi antara kami berdua berangsur membaik. Dia selalu pamit jika akan pergi kemanapun. Akupun mulai sering bercerita tentang ini dan itu. 
Sungguh indah kurasakan keluarga baruku ini. Kebahagiaan yang telah lama kutunggu.
***
Pagi itu, di hari Rabu, suamiku berkata padaku akan melihat sawah yang telah menyewa alat pembajaknya. Memang bukan dia sendiri yang menjalankan alat itu melainkan seorang teman dekatnya. Entah kenapa pagi itu aku mencegahnya. Suatu hal yang baru saja kulakukan setelah dua puluh tahun menikah dengannya. Dia hanya tersenyum mendengar perkataanku, seakan berkata, “Baiklah, aku tidak akan pergi”. Dan beberapa jam kemudian, dia pulang dengan kaki yang diperban. Hampir saja aku pingsan karena panik.
Rupanya dia tidak mendengar apa yang kukatakan. Diam-diam dia pergi ke sawah dan mengalami kecelakaan di sana. Kaki kirinya, tertindih setir traktor dan mengharuskannya mendapat 13 jahitan di kaki kirinya itu.
Setiap hari, dia terus meyakinkanku bahwa dia baik-baik saja. Tak sedetikpun aku meninggalkannya. Aku telah lupa bahwa aku pernah membencinya. Sekarang aku merasa bahwa dia adalah orang terbaik yang kupunya.
Aku sadar bahwa aku telah salah. Kami berdua memang masih terlalu kecil saat itu. Kami belum cukup matang untuk berumahtangga.
Satu persatu memori tentang dua puluh tahun yang terlewatkan itu berjalan di atas kepalaku.
Aku ingat saat pertama kali aku memasak untuknya. Aku benar-benar tak pandai memasak saat itu, dan dia setiap pagi, sebelum berangkat bekerja, dia meluangkan waktu untuk menyalakan tungku. Aku ingat bahwa aku harus masak di pagi buta saat itu, aku tidak berani sendirian di dapur, dan dia menemaniku. Menggelar tikar di samping tungku, menyelesaikan tidurnya di dapur meskipun sebenarnya ia tentu sangat lelah setelah bekerja sampai larut dan harus berangkat selepas shubuh, mengayuh sepeda sepanjang 25 km hanya untuk menyambung hidup kami.
Aku ingat saat ia membawa pulang daging jatah makannya di tempat kerja untuk kumakan di rumah. Aku meloncat kegirangan seperti anak kecil, karena memang saat itu aku benar-benar masih kecil.
Aku begitu marah saat dia melepas pekerjaan tetap sebagai cleaning service di pabrik pupuk Petrokimia. Tanpa mempertimbangkan betapa berat perjuangannya untuk sampai di tempat itu. Bersepeda sejauh 25 km di pagi buta dan pulang kembali pada sore harinya.
Dan kejadian malam itu, saat angin kencang menerpa rumah kami. Dia telah mengajakku keluar dan aku menolak. Kemudian dalam kepanikan, dia masih sempat memintaku untuk berlindung di bawah meja. Yah…karena meja itu aku selamat, aku bahkan baru menyadari bahwa dia yang telah menyelamatkanku. Dia keluar membawa sabit, tradisi yang dipercaya dapat mengusir angin ribut.
Air mataku meleleh menyadari bahwa tidak pernah sekalipun dia mencela masakanku. Dan ternyata seringkali dia membanggakan masakanku di depan teman-teman kerjanya. Bahkan, dia sering kali melewatkan jatah makan siangnya di tempat dia bekerja hanya agar bisa memakan masakanku.
Dia juga yang mengajarkan do’a qunut kepadaku, do’a selamat, dan banyak hal lainnya tentang hidup.
Begitu pula saat aku dengan kecerobohanku mencuci jaket satu-satunya yang dia miliki di sore hari, hingga pagi hari saat dia berangkat kerja, jaket itu belum juga kering. Aku kemudian menyetrika jaket itu, dan berkat kecerobohanku, jaket satu-satunya yang dia miliki itu terbakar. Dia kemudian mengenakan jaket yang telah burlubang itu tanpa memarahiku seditpun.
Yah, setelah kuingat-ingat dia hampir tak pernah marah padaku. Kecuali saat aku mengandung Ilham. Tapi kenapa? Kenapa dia bisa semarah itu? Ah tidak, tidak mungkin. Apakah benar dia berpikir tidak akan bisa mendampingiku merewat Ilham? Ya Allah.... pikiran macam apa ini? Tidak. Aku menyingkirkannya jauh-jauh. Aku tidak mau kehilangan suamiku, di saat aku baru saja menyadari betapa sesungguhnya dia mencintaiku.
Aku tersentak dari lamunan panjangku, saat mendengar suamiku memintaku untuk membawanya ke kamar mandi. Aku melakukan pengabdianku dengan tulus ikhlas. Mungkin ini adalah pengabdianku yang paling ikhlas sepanjang hidupku bersamanya. Dan mungkin pula ini akan menjadi pengabdian terakhirku.
Aku mewarnai hari-hariku dengan air mata. Meski berulangkali suamiku meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia bahkan masih sempat bergurau bahwa dia sekarang masih 42 tahun, tidak mungkin Tuhan mengambilnya dalam usia semuda itu. Mendengar kalimatnya itu air mataku menetes, aku baru 35 tahun, dan akankah aku menjadi seorang janda?
Aku berusaha mempersembahkan hari-hari terbaik untuk suamiku. Aku memasak apapun yang dia inginkan. Aku masih berharap dia akan sembuh dan kami akan menjalani sisa hidup kami dengan bahagia. Hingga suatu pagi, aku panik karena mendapati suamiku yang tidak bisa berbicara dengan lancar. Lidahnya kelu. Aku benar-benar panik. Aku berteriak memanggil siapapun yang sedang berada di sekitar rumahku.
Tetanggaku meminjamkan mobilnya untuk mengantar suamiku ke rumah sakit. Aku kacau, seperti orang gila, mondar-mandir membawa kantong plastik hitam yang berisi uang jutaan rupiah. Uang yang pinjaman dari adikku yang berada di Kalimantan. Tidak ada seorangpun yang menemaniku di rumah sakit. Anak sulungku, Lisa, sedang berada di Kalimantan, dia hamil tua dan suamiku melarangku untuk memberitahukan keadaannya ini kepada Lisa. Dia mengkhawatirkan kesehatan Lisa dan bayi dalam kandungannya.
Ya Allah... teguran ini, sungguh keras menamparku. Secara sadar, aku telah membentuk Lisa menjadi anak yang benar-benar membenci bapaknya. Dan sekarang, dalam kondisi sekarat, suamiku masih sempat memikirkan kesehatan Lisa. Ah, ibu macam apa aku ini.
Anak keduaku, Neny, aku tidak mungkin memintanya untuk datang ke rumah sakit. Neny harus banyak mempersiapkan diri untuk ujian nasional SMP. Anak itu, kasian sekali, dia pasti sudah cukup kewalahan mengurus kedua adiknya terutama Ilham yang masih 1,5 tahun.
Aku semakin menyadari bahwa selama ini aku benar-benar sudah tidak punya orang lain di sampingku selain suamiku. Kedua orangtuaku telah lama pergi. Saudara-saudaraku, semuanya dalam perantauan.
Tuhan....begitu besar yang telah Kau berikan kepadaku. Seseorang yang selalu kuat menghadapi semua kecerobohanku, menyelesaikan segala sesuatu untukku. Dan selama sekian tahun, aku telah mengingkarin nikmat yang telah Kau berikan kepadaku. Ampuni aku Tuhan...
***
Kini aku kembali menjalani hidupku. Berusaha mensyukuri segala nikmat yang telah Allah berikan kepadaku. Hidup bersama ketiga anak emasku. Mungkin perginya suamiku adalah harga yang harus kubayar untuk pelajaran hidup yang besar. Kini aku mendapati diriku sebagai seorang janda muda. Aku menyingkirkan semua baju-bajuku yang biasa kukenakan. Aku menggantinya dengan daster panjang dan menambahkan jilbab sebagai pelindung kehormatanku. Aku sadar, kini aku sendirilah yang harus berjuang untuk menjaga kehormatanku.
Kini aku mulai belajar mengambil hikmah dari segala sesuatu yang terjadi. Meski seringkali hatiku perih mengingat betapa kerasnya perjuangan suamiku untuk membangunkan sebuah rumah yang kuat sebagai tempat berlindung bagi keluarganya setelah dia pergi. Mengingat betapa banyak urusan rumah tangga yang aku bahkan tidak pernah sekalipun direpotkan olehnya kecuali dalam hal memasak. Aku tak pernah tau berapa banyak biaya sekolah anak-anakku sebelumnya. Bahkan aku tak tau bahwa hal sekecil apapun tentang keluarga harus menjadi prioritas utama bagi suamiku. Tak pernah sekalipun ia bolos dalam rapat wali murid. Dan sekarang aku harus melakukan semuanya sendiri.
Namun demikian, aku bersyukur masih diberikan kesempatan untuk berada dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang semakin hari semakin memupuk rasa cintaku kepada suamiku.
Aku selalu tak sabar menunggu waktu sholat sebab aku ingin segera mendoakannya. Aku rajin puasa sunnah. Aku semakin menjaga diri dari perbuatan tercela, sebab aku tak ingin suamiku di siksa di alam kubur karena meninggalkan istri yang selalu berbuat maksiat.
Kini aku hidup bahagia. Meskipun suamiku tak lagi berada di sisiku, tapi percayalah, dialah orang yang paling berperan akan kebahagiaanku sekarang. Dialah yang harus mendapat banyak penghargaan akan kesuksesan anak-anakku. Yah.... dia pergi untuk membiarkan kami tumbuh dewasa.