Demi cinta yang sebelumnya bahkan tak
pernah kukenal...
Dua
belas tahun usiaku saat aku menikah. Aku masih ingat betul saat itu.
“Ingat
ya, nanti kalo pak penghulu tanya, bilang aja sudah.”
Pesan
itu berkali-kali disampaikan oleh ibu. Aneh sekali, pikirku. Bahkan ibuku
sendiri tidak tahu bahwa aku memang benar-benar telah mendapat haidh pertamaku
setahun yang lalu.
Malam
harinya menjelang pernikahan, aku mengurung diri di kamar. Aku tak bisa
memejamkan mata sedetikpun. Hanya menangis sepanjang
malam. Belum sekalipun aku melihat wajah calon suamiku. Bermacam-macam yang ada
dalam pikiranku saat itu.
Jangan-jangan
nanti suamiku seperti Wak Jamin. Duda tua dengan kulit hitam legam dan rambut
gondrong yang tak pernah tersentuh sampo. Ah....aku segera menyingkirkan pikiran buruk itu.
Atau
jangan-jangan nanti suamiku suka main tangan. Kasar. Air mataku semakin deras.
Ingin rasanya aku menangis keras-keras. Tapi aku takut sama bapak. Beliau pasti
marah besar kalau tau bahwa aku tidak rela dengan pernikahan ini.
Malam
itu, sungguh menjadi malam yang panjang. Ingin rasanya berhenti berpikiran buruk, tapi aku tak sanggup. Air mataku terus-menerus memaksa
untuk keluar. Bahkan semakin larut, semakin deras.
Sekitar jam tiga dini hari aku pergi ke kamar mandi untuk
mencuci muka. Aku takut bapak akan marah jika esok pagi mendapatiku dengan
mata yang sembab.
***
Meskipun aku menikah di usia yang terlalu muda, aku masih
sempat mempunyai kisah cinta monyet.
Seorang pemuda kampung, diam-diam menaruh hati padaku. Halim namanya. Seringkali aku mendapati
arisanku telah terbayar olehnya. Bukan arisan besar. Hanya Rp 100,- setiap
seminggu sekali. Arisan untuk remaja-remaja agar tidak absen datang diba’an ke
masjid setiap malam Jum’at. Sering juga ia meninggalkan uang pada pemilik
warung dekat masjid, sehingga saat aku beli rujak, aku tak perlu lagi
membayarnya.
Tapi sayang, orang tua pemuda itu tidak setuju jika aku
menjadi anak mantu di keluarga mereka. Terang saja, keluargaku adalah keluarga
paling miskin di kampung. Sedangkan ia dari keluarga yang terpandang.
***
Esok harinya, di hari pernikahan, ibu memerlukan beberapa
kauskaki untuk membuat payudaraku terlihat sedikit lebih besar. Karena memang
aku masih sangat remaja, bahkan payudaraku belum benar-benar tumbuh.
Hari itu, untuk pertama kalinya aku melihatnya. Aku
tersipu malu. Ternyata, ia jauh dari apa yang kubayangkan. Aku menyesal telah
menangis di malam harinya. Ia
pemuda yang gagah. Usianya tujuh tahun lebih tua dariku. Tinggi dengan kulit
sawo matang. Ia tersenyum dan aku hanya tersipu, berusaha menyembunyikan
mata sembabku.
Saat itu, aku tidak benar-benar tau apa yang akan
kulakukan setelah menikah. Yang kutau, aku hanya harus mengikuti apa yang
diinginkan bapak. Meskipun sebenarnya aku masih sangat ingin melanjutkan sekolah, tapi ketika bapak sudah bilang
tidak, maka kemungkinan untuk sekolah benar-benar telah tertutup rapat.
Dua hari setelah pernikahan, ia menyuruhku untuk
meminta rumah dari bapak. Tentu saja aku terkejut. Tidak mungkin secepat ini.
Aku tau bahwa suatu hari bapak pasti akan membuatkan rumah untuk kami. Tapi ini
baru dua hari.
Namun aku tidak cukup berani untuk membuat alasan kepadanya. Saat itu, yang aku pikirkan hanyalah tak ingin menjadi janda di
usia 12 tahun.
Aku memberanikan diri untuk menyampaikan keinginan
suamiku itu kepada bapak. Bapak marah besar. Aku merengek-rengek di depan bapak, lebih seperti anak usia 12 tahun yang meminta baju baru.
Aku memohon dengan sangat agar bapak segera membuatkan rumah untuk kami. Mungkin
karena ketakutan yang sama, bapak akhirnya menyetujui permintaanku. Kurang dari
sebulan, rumah kecil kami sudah bisa ditinggali. Aku dan suamiku pindah ke
rumah baru kami. Sudah kubayangkan tentang kebahagiaan yang akan kami bina bersama di rumah baru itu.
Namun tidak. Suamiku ternyata masih punya permintaan lain. Ia menyuruhku untuk minta sawah dari bapak. Bukan perkara yang sulit, bapak memang punya banyak sawah.
Namun tidak. Suamiku ternyata masih punya permintaan lain. Ia menyuruhku untuk minta sawah dari bapak. Bukan perkara yang sulit, bapak memang punya banyak sawah.
Rupanya ia tau bahwa aku takut jika kemudian ia akan
meninggalkanku. Ketakutan itu dimanfaatkan olehnya untuk meminta ini dan itu. Beruntung keluargaku bukan keluarga yang
kaya. Sehingga tidak banyak yang bisa ia minta dariku. Aku menjalani hari-hari
dalam ketakutan dan kekhawatiran.
***
Suatu malam, turun hujan yang sangat lebat. Angin ribut
yang mengerikan. Aku ketakutan setengah mati.
Suamiku mengajakku untuk keluar dari rumah, tapi aku tak
bergeming. Aku takut. Aku tak berani melihat keluar.
Dan betapa sakitnya hatiku ketika ia meninggalkanku. Ia
berteriak agar aku bersembunyi di kolong meja saja jika aku ketakutan. Aku
berlari ke bawah meja dengan kaki gemetar.
Beberapa saat kemudian, rumah kami ambruk. Aku mengalami
beberapa luka kecil.
Dan pria itu, masih sehat tak kurang suatu apa.
Kami kemudian kembali menumpang di rumah orang tuaku. Tak
mungkin rasanya aku memaksa bapak untuk membangun kembali rumah yang telah
ambruk itu.
Namun sepertinya suamiku masih tetap enggan tinggal
bersama keluargaku. Siang malam ia untuk mengumpulkan uang dan
kemudian membangun kembali rumah kami. Bahkan tak sedikitpun uang yang diberikannya untuk
keperluan makan sehari-hari. Sampai akhirnya kami tinggal di rumah kami
sendiri. Rumah tembok besar yang sepertinya tak kan pernah selesai dibangun.
Suamiku mengerjakannya dengan tangannya sendiri tanpa bantuan siapapun.
Di
tengah kekacauan itu, aku melahirkan anak pertamaku. Bayi laki-laki yang tak berdosa itu meninggal di pangkuanku saat usianya
genap satu minggu. Menjadi korban kebodohan pasangan yang terlalu muda.
Aku masih tiga belas tahun saat itu, aku belum tau betul
bagaimana caranya mengurus bayi. Anak pertama kami sakit-sakitan. Badannya
panas sejak hari pertama ia dilahirkan.
Anak keduaku perempuan, Lisa namanya. Kepadanya aku
sering melampiaskan kemarahanku. Setiap hari aku mencekokinya dengan cerita
tentang karakter buruk bapaknya. Aku senang berbicara dengan Lisa sebab dia
selalu berada dipihakku. Lisa tumbuh menjadi gadis yang kasar. Dan sepertiku,
dia terlihat tidak terlalu suka dengan bapaknya.
***
Aku merasa aku benar-benar membenci lelaki itu. Tidak ada
sedikitpun kebaikan yang tersisa darinya di mataku. Jika bukan mengingat kewajibanku
sebagai istri, tak sudi lagi aku melihat wajahnya.
Hingga lima belas tahun usia pernikahan kami, aku masih
merasa berada dalam penderitaan yang sangat. Aku merasa terkurung. Aku tak
berani meminta tambahan uang belanja. Hatiku seringkali sakit ketika ia terus
menerus menggunakan uangnya untuk membangun rumah.
Seringkali aku bertanya-tanya, apa yang membuatku bertahan sampai selama itu. Aku bahkan tak pernah punya panggilan untuknya. Jika aku butuh sesuatu, aku hanya memanggilnya, “Hei”.
Seringkali aku bertanya-tanya, apa yang membuatku bertahan sampai selama itu. Aku bahkan tak pernah punya panggilan untuknya. Jika aku butuh sesuatu, aku hanya memanggilnya, “Hei”.
Seiring bertambahnya usia pernikahan, semakin jarang
kami berkomunikasi. Dan semakin bertambah usiaku, aku semakin berani melawan.
Bukan sekali dua kali aku meinta cerai karena hal-hal sepele. Ia bahkan tidak
sedikitpun menggubris permintaan ceraiku.
Semakin hari aku semakin sering mengomel, dan kemarahanku
selalu menjadi-jadi sebab aku merasa tak dihiraukan sama sekali. Aku dibiarkan
begitu saja berkicau sepanjang hari. Tak ada sedikitpun kebahagiaan yang
tersisa dari pernikahanku. Bahkan seingatku, sejak aku mengenalnya, aku hanya
satu kali merasa bahagia, yaitu saat pertama kali melihatnya di depan penghulu.
Kebahagiaan yang merupakan awal dari segala mimpi burukku.
Seandainya saja aku menikah dengan Halim, mungkin kehidupanku akan lebih baik. Dia bahkan telah berkesempatan untuk berhaji bersama istrinya. Ah.... andai saja aku yang menjadi istri Halim. Aku pasti jauh lebih bahagia dari saat ini.
***
Seandainya saja aku menikah dengan Halim, mungkin kehidupanku akan lebih baik. Dia bahkan telah berkesempatan untuk berhaji bersama istrinya. Ah.... andai saja aku yang menjadi istri Halim. Aku pasti jauh lebih bahagia dari saat ini.
***
Aku sudah tidak tahan lagi dengan uang belanja yang tak
kunjung bertambah. Kemudian suatu hari aku menyampaikan keinginanku untuk
bekerja sendiri. Aku minta dibuatkan kedai kopi di depan rumah.
Seperti biasa ia tak terlalu banyak bicara. Dua minggu
kemudian, kedai kopi yang kuminta sudah berdiri, lengkap dengan isinya.
Aku tak pernah merasa perlu untuk mengucapkan terima
kasih. Kupikir, justru dialah yang seharusnya berterimakasih kepadaku karena
sejak saat itu, aku tak pernah lagi meminta uang belanja darinya. Bahkan,
sekarang artinya dia makan dari hasil keringatku.
Karena pekerjaan baru itu, aku semakin mengurangi
komunikasi dengannya. Rumah kami tidak lagi diwarnai dengan pertengkaran. Aku
tidak lagi mengomel. Aku terlalu sibuk dengan kedai kopi itu, hingga suatu hari
aku menyadari bahwa di samping rumah telah ada sebuah alat pembajak sawah.
Tentu saja suamiku dengan mudah dapat membelinya. Berkat
pekerjaanku yang sekarang, dia bahkan tidak perlu repot-repot mengeluarkan uang
untuk jajan anak-anak kami.
***
Enam tahun sejak kelahiran anak ketigaku, aku terkejut
mendapati diriku hamil empat bulan.
Aku menyampaikan ini kepadanya. Dan dia marah besar.
Entah kenapa, bukankah dia sendiri yang melakukan ini padaku? Kenapa sekarang
dia harus marah ketika mendapatiku sedang hamil?
Kehamilan ini rupanya menjadi alasan baginya untuk tidak
lagi menegurku. Hampir setiap malam dia pulang terlambat tanpa aku tau kemana
ia pergi.
Hingga suatu pagi, aku mulai merasakan tanda-tanda kelahiran
anak keempat kami. Aku sudah menyampaikannya kepada suamiku. Aku memintanya untuk
tidak pergi ke sawah dulu dan menjagaku di rumah. Tapi dia sama sekali tidak
mendengarkanku.
Syukurlah Tuhan mendengar jerit tangis ibu yang kesakitan
ini. Tepat jam 9 pagi, suamiku digigit kalajengking di sawah. Dia buru-buru
pulang dan mendapatiku mengerang kesakitan di atas tempat tidur. Kemudian dia
bergegas memanggilkan dukun beranak. Bayi yang tidak diharapkan itu lahir
dengan selamat pada jam 9.30 dengan wajah yang sama persis dengan bapaknya.
Sebenarnya aku tidak pernah berharap salah seorang anakku
mewarisi wajah bapaknya, tapi kali ini aku benar-banar bersyukur, sebab
belakangan memang beredar gosip bahwa anak yang kukandung adalah hasil dari
perbuatan tercelaku bersama orang lain.
Aku berkali bersumpah di depan suamiku. Entah untuk apa
aku bersumpah, sedangkan bukan dia yang melontarkan tuduhan keji itu
terhadapku. Bahkan dia tidak pernah menanyakan tentang kejelasan bayi yang
kukandung.
Pria yang telah sekian lama kubenci itu terlihat bercanda dengan bayi mungil kami. Setiap
hari, bayi kami itu tak mau tidur kecuali dalam gendongan bapaknya. Untuk
pertama kalinya, dia memberikan nama bagi anak kami. Setelah sebelumnya, dia
selalu mempercayakannya padaku atau pada Wak Modin. Bayi itu, Ilham namanya.
Aku bahagia melihat kenyataan bahwa suamiku benar-benar menyayangi bayi
terakhir kami itu. Ya, bayi itu benar-benar menjadi bayi terakhir kami. Bayi
yang menggoreskan senyum bagi keluarga kami untuk satu tahun terakhir.
Sejak kelahiran Ilham, komunikasi antara kami berdua berangsur membaik. Dia selalu pamit jika akan pergi
kemanapun. Akupun mulai sering bercerita tentang ini dan itu.
Sungguh indah kurasakan keluarga baruku ini. Kebahagiaan
yang telah lama kutunggu.
***
Pagi itu, di
hari Rabu, suamiku berkata padaku akan melihat sawah yang telah menyewa alat pembajaknya. Memang bukan dia sendiri yang menjalankan alat itu melainkan
seorang teman dekatnya. Entah kenapa pagi itu aku mencegahnya. Suatu hal yang
baru saja kulakukan setelah dua puluh tahun menikah dengannya. Dia hanya
tersenyum mendengar perkataanku, seakan berkata, “Baiklah, aku tidak akan
pergi”. Dan beberapa jam kemudian, dia pulang dengan kaki yang diperban. Hampir
saja aku pingsan karena panik.
Rupanya dia tidak mendengar apa yang kukatakan. Diam-diam
dia pergi ke sawah dan mengalami kecelakaan di sana. Kaki kirinya, tertindih
setir traktor dan mengharuskannya mendapat 13 jahitan di kaki kirinya itu.
Setiap hari, dia terus meyakinkanku bahwa dia baik-baik
saja. Tak sedetikpun aku meninggalkannya. Aku telah lupa bahwa aku pernah
membencinya. Sekarang aku merasa bahwa dia adalah orang terbaik yang kupunya.
Aku sadar bahwa aku telah salah. Kami berdua memang masih
terlalu kecil saat itu. Kami belum cukup matang untuk berumahtangga.
Satu persatu memori tentang dua puluh tahun yang
terlewatkan itu berjalan di atas kepalaku.
Aku ingat saat pertama kali aku memasak untuknya. Aku
benar-benar tak pandai memasak saat itu, dan dia setiap pagi, sebelum berangkat
bekerja, dia meluangkan waktu untuk menyalakan tungku.
Aku ingat bahwa aku harus masak di pagi buta saat itu, aku tidak berani
sendirian di dapur, dan dia menemaniku. Menggelar tikar di samping tungku,
menyelesaikan tidurnya di dapur meskipun sebenarnya ia tentu sangat lelah
setelah bekerja sampai larut dan harus berangkat selepas shubuh, mengayuh
sepeda sepanjang 25 km hanya untuk menyambung hidup kami.
Aku ingat saat ia membawa pulang daging jatah makannya di
tempat kerja untuk kumakan di rumah. Aku meloncat kegirangan seperti anak
kecil, karena memang saat itu aku benar-benar masih kecil.
Aku begitu marah saat dia melepas pekerjaan tetap sebagai
cleaning service di pabrik pupuk
Petrokimia. Tanpa mempertimbangkan betapa berat perjuangannya untuk sampai di
tempat itu. Bersepeda sejauh 25 km di pagi buta dan pulang kembali pada sore
harinya.
Dan
kejadian malam itu, saat angin kencang menerpa rumah kami. Dia telah mengajakku
keluar dan aku menolak. Kemudian dalam kepanikan, dia masih sempat memintaku
untuk berlindung di bawah meja. Yah…karena meja itu aku selamat, aku bahkan
baru menyadari bahwa dia yang telah menyelamatkanku. Dia keluar membawa sabit,
tradisi yang dipercaya dapat mengusir angin ribut.
Air mataku meleleh menyadari bahwa tidak pernah sekalipun
dia mencela masakanku. Dan ternyata seringkali dia membanggakan masakanku di
depan teman-teman kerjanya. Bahkan, dia sering kali melewatkan jatah makan
siangnya di tempat dia bekerja hanya agar bisa memakan masakanku.
Dia juga yang mengajarkan do’a qunut kepadaku, do’a selamat,
dan banyak hal lainnya tentang hidup.
Begitu pula saat
aku dengan kecerobohanku mencuci jaket satu-satunya yang dia miliki di sore
hari, hingga pagi hari saat dia berangkat kerja, jaket itu belum juga kering.
Aku kemudian menyetrika jaket itu, dan berkat kecerobohanku, jaket satu-satunya
yang dia miliki itu terbakar. Dia kemudian mengenakan jaket yang telah
burlubang itu tanpa memarahiku seditpun.
Yah, setelah kuingat-ingat dia hampir tak pernah marah
padaku. Kecuali saat aku mengandung Ilham. Tapi kenapa? Kenapa dia bisa semarah
itu? Ah tidak,
tidak mungkin. Apakah benar dia berpikir tidak akan bisa mendampingiku merewat Ilham?
Ya Allah.... pikiran macam apa ini? Tidak. Aku menyingkirkannya jauh-jauh. Aku
tidak mau kehilangan suamiku, di saat aku baru saja menyadari betapa sesungguhnya
dia mencintaiku.
Aku tersentak dari lamunan panjangku, saat mendengar
suamiku memintaku untuk membawanya ke kamar mandi. Aku melakukan pengabdianku
dengan tulus ikhlas. Mungkin ini adalah pengabdianku yang paling ikhlas
sepanjang hidupku bersamanya. Dan mungkin pula ini akan menjadi pengabdian
terakhirku.
Aku mewarnai hari-hariku dengan air mata. Meski
berulangkali suamiku meyakinkan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Dia bahkan
masih sempat bergurau bahwa dia sekarang masih 42 tahun, tidak mungkin Tuhan
mengambilnya dalam usia semuda itu. Mendengar kalimatnya itu air mataku
menetes, aku baru 35 tahun, dan akankah aku menjadi seorang janda?
Aku berusaha mempersembahkan hari-hari terbaik untuk suamiku.
Aku memasak apapun yang dia inginkan. Aku masih berharap dia akan sembuh dan
kami akan menjalani sisa hidup kami dengan bahagia. Hingga suatu pagi, aku
panik karena mendapati suamiku yang tidak bisa berbicara dengan lancar.
Lidahnya kelu. Aku benar-benar panik. Aku berteriak memanggil siapapun yang
sedang berada di sekitar rumahku.
Tetanggaku meminjamkan mobilnya untuk mengantar suamiku
ke rumah sakit. Aku kacau, seperti orang gila, mondar-mandir membawa kantong
plastik hitam yang berisi uang jutaan rupiah. Uang yang pinjaman dari adikku
yang berada di Kalimantan.
Tidak
ada seorangpun yang menemaniku di rumah sakit. Anak sulungku, Lisa, sedang
berada di Kalimantan, dia hamil tua dan suamiku melarangku untuk memberitahukan
keadaannya ini kepada Lisa. Dia mengkhawatirkan kesehatan Lisa dan bayi dalam
kandungannya.
Ya Allah... teguran ini, sungguh keras menamparku. Secara
sadar, aku telah membentuk Lisa menjadi anak yang benar-benar membenci
bapaknya. Dan sekarang, dalam kondisi sekarat, suamiku masih sempat memikirkan
kesehatan Lisa. Ah, ibu macam
apa aku ini.
Anak keduaku, Neny, aku tidak mungkin memintanya untuk
datang ke rumah sakit. Neny harus banyak mempersiapkan diri untuk ujian nasional SMP. Anak itu, kasian sekali,
dia pasti sudah cukup kewalahan
mengurus kedua adiknya terutama Ilham yang masih 1,5 tahun.
Aku semakin menyadari bahwa selama ini aku benar-benar
sudah tidak punya orang lain di sampingku selain suamiku. Kedua orangtuaku
telah lama pergi. Saudara-saudaraku, semuanya dalam perantauan.
Tuhan....begitu besar yang telah Kau berikan kepadaku.
Seseorang yang selalu kuat menghadapi semua kecerobohanku, menyelesaikan segala
sesuatu untukku. Dan selama sekian tahun, aku telah mengingkarin nikmat yang
telah Kau berikan kepadaku. Ampuni aku Tuhan...
***
Kini aku kembali menjalani hidupku. Berusaha mensyukuri
segala nikmat yang telah Allah berikan kepadaku. Hidup bersama ketiga anak
emasku. Mungkin perginya suamiku adalah harga yang harus kubayar untuk
pelajaran hidup yang besar. Kini aku mendapati diriku sebagai seorang janda
muda. Aku menyingkirkan semua baju-bajuku yang biasa kukenakan. Aku
menggantinya dengan daster panjang dan menambahkan jilbab sebagai pelindung
kehormatanku. Aku sadar, kini aku sendirilah yang harus berjuang untuk menjaga
kehormatanku.
Kini aku mulai belajar mengambil hikmah dari segala
sesuatu yang terjadi. Meski seringkali hatiku perih mengingat betapa kerasnya
perjuangan suamiku untuk membangunkan sebuah rumah yang kuat sebagai tempat
berlindung bagi keluarganya setelah dia pergi. Mengingat betapa banyak urusan
rumah tangga yang aku bahkan tidak pernah sekalipun direpotkan olehnya kecuali
dalam hal memasak. Aku tak pernah tau berapa banyak biaya sekolah anak-anakku
sebelumnya. Bahkan aku tak tau bahwa hal sekecil apapun tentang keluarga harus
menjadi prioritas utama bagi suamiku. Tak pernah sekalipun ia bolos dalam rapat
wali murid. Dan sekarang aku harus melakukan semuanya sendiri.
Namun demikian, aku bersyukur masih diberikan kesempatan
untuk berada dalam kondisi seperti ini. Kondisi yang semakin hari semakin
memupuk rasa cintaku kepada suamiku.
Aku selalu tak sabar menunggu waktu sholat sebab aku
ingin segera mendoakannya. Aku rajin puasa sunnah. Aku semakin menjaga diri
dari perbuatan tercela, sebab aku tak ingin suamiku di siksa di alam kubur
karena meninggalkan istri yang selalu berbuat maksiat.
Kini aku hidup bahagia. Meskipun suamiku tak lagi berada
di sisiku, tapi percayalah, dialah orang yang paling berperan akan
kebahagiaanku sekarang. Dialah yang harus mendapat banyak penghargaan akan
kesuksesan anak-anakku. Yah.... dia pergi untuk membiarkan kami tumbuh dewasa.