Senin, 18 Juni 2012

Karena Jatuh itu sakit...

"Jangan pernah jatuh cinta, karena jatuh cinta adalah jatuh yang paling sakit dari semua jatuh yang ada di muka bumi ini."
Kalimat itu telah kutanamkan dalam-dalam pada otakku sejak aku masih kelas 5 SD.
Aku mempunyai seorang kakak perempuan, Mbak Lis. Saat itu, Mbak Lis telah duduk di kelas 2 SMK. Aku banyak mencuri dengar saat Mbak Lis curhat sama Ibuk. Mungkin karena itu, aku jadi dewasa lebih awal daripada teman-temanku. Aku telah mendapatkan menstruasiku sejak kelas 6 SD.

Tapi jangan khawatir, kedewasaanku, tidak lantas menjadikanku sebagai gadis kecil yang centil, seperti yang dialami oleh sebagian besar siswi-siswi SD di daerah perkotaan yang sudah mengenal pacaran.
Aku memberikan reaksi yang sebaliknya. Aku berjanji pada diriku sendiri bahwa aku tidak mau pacaran. Pacaran itu merepotkan. Apa gunanya?

Bukan janji yang ringan, sebab seperti yang telah kukatakan sebelumnya, aku mendapatkan menstruasiku jauh lebih awal daripada teman-teman yang lain. Itu membuatku semakin banyak berubah. Aku jadi terlihat lebih dewasa dari teman2ku yang lain, sehingga telah banyak pemuda kampung yang menyukaiku sejak aku duduk di kelas 6 SD.

Tapi aku tak mau jatuh cinta. Tak akan.

Lulus SD, aku terpaksa masuk MTs. Sebuah sekolah yang dipilihkan oleh Mbak Lis dan Ibuk.
Dalam hati aku ingin menolak. Aku ingin sekolah di SMP saja. "Aku nggak mau pakai jilbab... Aku nggak suka pakai rok..." Gerutuku dalam hati.

Mungkin kalian tidak percaya jika aku berkata bahwa aku adalah gadis yang penurut. Tapi sungguh, aku tak pernah sekalipun berkata tidak atas semua permintaan Ibuk. Meski tidak semua permintaan itu kukerjakan dengan ikhlas...

Aku tetap sekolah di MTs. Dan aku beruntung Ibuk memilih sekolah ini untukku. Aku membaca banyak buku agama di perpustakaan. Aku memang hobi membaca. Aku membaca banyak novel islami. Dan sejak itu, aku semakin bangga bahwa aku dilahirkan sebagai seorang muslimah.

Dan dari situ, aku menemukan alasan yang jelas mengapa aku tak boleh pacaran.
Aku terus memegang teguh janji itu.
Semakin hari, aku semakin mempertebal benteng pertahananku.
Sehingga ketika ada seorang teman yang menaruh hati kepadaku, aku tak mau lagi menyapanya.

Ini membuatku kehilangan banyak teman laki-laki. Tapi biarlah. Yang penting, aku tak boleh jatuh cinta.


Hingga memasuki  semester satu pada pendidikan S1 ku, sempat terbesit keinginan untuk 'mencoba' pacaran.
Tapi tidak...segera kutepis jauh-jauh.

Aku telah banyak mendengar, dan melihat kisah-kisah cinta yang tidak menyenangkan. Pacaran itu nggak penting.
"Kamu pacaran biar apa sih? Biar seneng kan? Jadi kalo kamu gak bisa seneng, ya udah...putusin aja pacar kamu.."
Kalimat itu, entah berapa kali kunasehatkan kepada teman-temanku yang memilihku sebagai teman curhatnya. Pilihan yang salah, hehe.

"Jangan pernah jatuh cinta, karena jatuh cinta adalah jatuh yang paling sakit dari semua jatuh yang ada di muka bumi ini."

Kalimat itu selalu kuingat. Ku tanamkan dalam-dalam pada otakku.

Namun kawan,, kau tau? Otakku ternyata tak bisa mengalahkan hatiku.

Aku jatuh.

Segala macam teoriku tentang anti cinta, kini tak berlaku lagi....

Entah.

Aku seperti orang gila.

Aku selalu mengingat pria itu. Padahal aku tidak pernah dekat dengannya. Awalnya aku hanya tertarik. Tapi rupanya aku terlalu mengumbar ketertarikanku, sebab awalnya memang kupikir aku tak mungkin benar-benar jatuh cinta pada pemuda itu.

Seorang pemuda kampung. Dekil. Penganggur. Dan......Nasrani.

Bukan tanpa alasan aku mengaguminya.
Pria itu...hampir seperti sosok yang selama ini kerap kugambarkan dalam imajinasiku.
Tak banyak bicara. Terampil. Dan menjadi kebanggaan orang tuanya.

Dia pergi entah kemana selama 1 bulan. Dan 1 bulan itu telah menjadi 1 bulan yang paling menyiksa batinku. Aku rindu setengah mati. Jika ada yang bertanya kepadaku, apa hal yang paling kuinginkan, maka dengan cepat akan kujawab, "Bertemu dengannya.."

Beberapa ide bodoh kerap mampir di otakku yang sepertinya mulai tidak waras ini. Seperti aku ingin pergi menemuinya, atau mengatakan pada orang tuanya bahwa aku menyukai putra mereka.

Bodoh sekali.


Aku telah merencanakan banyak hal dalam imajinasiku sendiri. Sepertinya aku akan hidup dengan sempurna.
Otakku berkata, "Dia Nasrani Nik...."
Kemudian bagian lain dari diriku mengatakan, "Memangnya kenapa? Bukankah bagus jika pernikahan juga mempunyai nilai dakwah? Bukan tidak mungkin, suatu hari, di kampung ini akan ada perkampungan muslim, dan itu adalah keturunanku."

Pekerjaan?
Bukankah rejeki itu Allah yang mengatur?
Dia pria yang rajin, aku bisa membangun peternakan yang besar bersamanya. Kemudian kami bersama-sama akan mewujudkan cita-citaku, membangun sebuah sekolah.

Indah bukan?
Semua tampak mudah...


Hingga kemudian, setelah 1 bulan kepergiannya, dia kembali.
Kupikir aku akan senang dengan itu.
Tapi ternyata tidak.
Perasaan jatuh cinta itu sepertinya menguap begitu saja.
Habis.
Tak bersisa sedikitpun.


Entahlah.

Logikaku kembali muncul. Mungkin kemarin aku bukan sedang jatuh cinta kepada pria itu. Seperti biasa. Aku hanya jatuh cinta pada sosok yang kukhayalkan sendiri. Aku hanya terlena pada cerita-cerita fiktif tentang masa depan yang kukarang sendiri.

Kemudian ketika dia datang dan berada tepat di depanku. Aku semakin sadar bahwa aku tak akan bisa menjalani hidup yang kuimpikan bersamanya.

Semakin banyak keraguan muncul. Dia Nasrani dan aku Muslim. Dia lulusan SMA dan aku Sarjana. Dia terbiasa hidup di hutan dan aku terbiasa hidup di kota. Dia biasa bekerja di kebun dan aku biasa bekerja dengan komputer. Dia pemuda yang tidak mempunyai tujuan hidup, merasa cukup dengan apa yang dia punya, hidup ala kadarnya, yang penting bisa makan, sedangkan aku? Aku punya cita-cita besar. Aku ingin jadi penulis, aku ingin jadi trainer, aku ingin mendirikan sekolah.

Mungkinkah kami akan melangkah bersama?
Mungkinkah dia orang yang tepat untuk membantuku mewujudkan cita-citaku?
Apa kata orangtuaku?

Hari-hari kulalui dengan tidak biasa. Banyak hal yang kupikirkan.

"Apa salahnya?" pikirku.

Aku bukan perempuan biasa. Aku Kartini. Aku lahir pada tanggal 21 April. Mungkin ini kesempatan bagiku untuk membuktikan bahwa aku pantas dilahirkan pada hari itu.

Aku mencoba menata niatku. Aku ingin dia muslim. Dia pemuda yang baik. Sayang sekali jika dia bukan muslim. Dan jika Allah mengijinkan, aku ingin mendampinginya untuk keIslamannya itu. Aku ingin mendampinginya sampai akhir. Paling tidak, sampai ia tahu bahwa Islam itu indah. Bahwa Islam menjadikan hidup ini lebih berarti. Lebih punya tujuan. Dan menjadikan hati lebih sejuk.

Aku tak boleh sembarangan menilai orang. Bukan tidak mungkin suatu hari nanti dia akan menjadi orang yang jauh lebih lebih dariku.

Dia seperti itu bukan karena dia ingin kan? Dia seperti itu karena takdir telah menentukan bahwa dia harus dilahirkan di daerah itu. Dari rahim seorang perempuan Nasrani. Di tempat yang sungguh jauh dari peradaban. Tempat yang tidak memerlukan perjuangan keras untuk hidup. Tempat yang tidak memungkinkan seorang pemudanya mempunyai cita-cita yang tinggi.

Ah...cita-cita... Mungkin itu menjadi kata yang asing bagi mereka.

Aku terus-menerus berusaha menata niatku. Aku sudah lupa terhadap perasaanku. Sungguh. Aku tidak sedang jatuh cinta.
Bahkan sekarang mungkin tak ada lagi setetespun cinta untuknya.
Tapi aku ingin berbuat. Itu saja.

Sejujurnya aku takut. Aku malu kepada teman-temanku. Aku. The Great Nicma kini memilih seorang penganggur. Ironis.

Hatiku terus-menerus berdebat dengan otakku. Sementara itu, aku masih terus bersikap bodoh. Aku tidak menjauh. Dia semakin sering main ke tempat tinggalku. Hingga tanpa kusadari, aku telah berada pada posisi yang sulit sebelum aku memutuskan apakah aku akan benar-benar siap dengannya.

Kadang aku yakin. Kadang jangan. Aku bingung.


Tapi ini salahku. Aku terus-menerus mengingatnya waktu itu, sehingga mungkin angin telah menyampaikan kerinduanku padanya. Dan tanpa kuketahui, kerinduan itu berbalas.
Semakin lama aku semakin tau bahwa dia menaruh hati padaku. Meski aku yakin dia tak akan berani memulai.

Hingga pada suatu hari, aku dalam keadaan setengah sadar, memberikannya kesempatan untuk menyampaikan perasaannya terhadapku. Dan aku, seakan melupakan semua perang batinku, menerimanya.

Aku tau itu salah. Aku tau seharusnya tidak demikian prosesnya.
Seharusnya, ini dilakukan dengan lebih cantik. Lebih berhati-hati. Jika memang benar bahwa tujuanku adalah untuk berjuang.

Aku telah mempunyai banyak teori tentang proses ini. Aku telah melahap habis banyak buku tentang cinta yang benar menurut agamaku. Tapi saat itu aku kalah.

Kuakui bahwa aku telah melakukan banyak kesalahan.
Aku terlalu mengumbar perasaan yang kusebut cinta itu, dan munafiknya aku, aku terus berdalih bahwa aku tengah berjuang untuk keIslamannya.

Beberapa tahun terakhir aku memang jauh dari buku-buku Islami. Aku tidak lagi mengikuti pengajian-pengajian. Benteng pertahananku telah terkikis. Aku berdosa.

Jika tujuanku untuk berjuang seperti yang telah kukatakan tadi, tidak seharusnya aku duduk di dekatnya sebelum kami terikat dalam pernikahan.

Aku pernah memegang tangannya (bukan dia yang memegang tanganku). Aku pernah merasa nyaman bersandar di bahunya. Aku pernah merasa nyaman berlama-lama terhanyut dalam diam bersamanya.

Aku menyesal. Sungguh....
Seandainya ada penghapus ajaib yang dapat menghapus 'saat-saat yang terasa indah' itu, aku akan berjuang sekuat tenaga untuk mendapatkannya. Aku ingin lupa. Aku tidak suka terlalu lama dalam penyesalan. Tapi aku tak bisa.
Beberapa orang telah melihat kekhilafanku itu (sebab memang aku tidak pernah menyengajakan diri beradda di tempat sepi dengannya). Aku sungguh menyesal. Aku sakit sekarang. Teramat sakit. Dan sulit sekali menyembuhkannya. Sebab bagaimanapun, yang sudah terjadi tidak mungkin bisa dihapus.

Jatuh itu sakit kawan..... Dan setelah terjatuh, sering kali kita tidak sadarkan diri. Banyak hal yang terjadi di luar kendali. Meski kita berusaha terbangun.... Tetaplah sulit. Rasa sakit akibat terjatuh itu masih ada. Lumpur yang menempel di baju kita pun tidak mudah hilang begitu saja. Orang-orang akan mentertawakan kecerobohan kita. Dan tempat bekas kita jatuh tadi, akan menjadi licin terkena bekas kaki kita, sehingga akan memungkinkan lebih banyak lagi orang lain terjatuh di tempat yang sama.


Kini, aku sudah sampai di sini. Aku tidak mungkin meninggalkannya. Aku sudah berjanji untuk terus menunggunya sampai dia siap. Dan aku bukan orang yang suka mengingkari janji. Bagiku, janji itu tidak akan kulepas kecuali jika aku mati.
Bukan masalah cinta lagi, tapi sunggunh ini tentang sebuah komitmen.

Dia sudah bersedia masuk Islam. Hanya saja tidak mungkin dilakukan jika dia masih tinggal di tempat ini.

Aku berencana mengirimnya ke Jakarta. Insya Allah akhir bulan ini. Dia masih harus mengumpulkan uang dari hasil panen kopi untuk biaya keberangkatannya ke tanah Jawa.

Kini, aku telah berusaha mengurangi interaksiku dengannya.
Kebetulan ini waktu yang tepat. Saat liburan sekolah, aku memutuskan untuk berlibur di kota.

Aku menulis surat untuknya. Menyatakan ketegasanku bahwa jika dia masih ingin terus besamaku, dia harus berusaha untuk mempelajari agamaku.
Dia harus berani untuk merantau ke tanah Jawa.
Belajar Islam dari seorang kawan di sana.
Aku berharap, di tempat yang baru nanti pemikirannya akan terbuka. Mungkin dia akan lebih memikirkan untuk kemajuan dirinya, bahkan mungkin juga kemajuan pulau ini.

Yah, meski aku hanya bisa berharap. Tak lebih.

Aku telah jatuh. Dan kini aku tengah berusaha untuk terbangun. Meski tertatih, aku tetap berusaha untuk berjalan.



Cinta. Ketika perasaan itu datang, semua terlihat halal.


Aku tak ingin lagi terjatuh. Karena jatuh itu sakit...